Beberapa kalangan menggelisahkan arah perkembangan kritik sastra.
Kegelisahan tersebut antara lain disebabkan kritik sastra dianggap tidak
mampu mengakomodasi perkembangan karya sastra. Kegelisahan itu juga
disebabkan karena saat ini tidak ada kritikus sastra seberwibawa HB
Jassin. Di samping itu, kritik sastra dianggap tidak mampu menjelaskan
arah perkembangan karya sastra, yang kita tahu, akhir-akhir ini karya
sastra terbit dengan cara yang cepat dan sangat beragam. Terdapat
beberapa hal yang perlu diletakkan dalam porsi persoalan yang lebih pas.
Pertama, apa yang sebenarnya terjadi dalam perkembangan studi-studi
sastra. Kedua, mengapa kewibawaan kritik sastra model HB Jassin sekarang
tidak berkembang. Ketiga, bagaimana studi sastra melihat arah
perkembangan karya sastra.
Hingga tahun 1970-an, bahkan hingga tahun 1980-an, istilah dan konsep
kritik sastra memang masih sangat populer. Istilah dan konsep itu
dimaksudkan sebagai satu telaah yang berkaitan dengan ‘analisis-analisis
intrinsik’ berkaitan dengan penjelasan struktur karya, dan kemudian
diikuti semacam penghakiman tentang ‘kualitas estetis’ karya sastra
bersangkutan.
Pada umumnya, teori yang cukup dominan pada waktu-waktu itu adalah
teori-teori struktural, dalam berbagai versinya, sehingga mutu estetis
perkembangan karya sastra dapat dilacak dan diketahui. HB Jassin, dan
beberapa pengikutnya, ada dalam koridor kritik sastra ini.
Akan tetapi, kelemahan umum kritik sastra semacam itu adalah bahwa karya
sastra dilepaskan dari konteks sosial masyarakatnya. Itulah sebabnya,
banyak kajian sastra pada waktu itu seolah asyik dengan dirinya sendiri.
Memang, mungkin kajian seperti itu berguna bagi para sastrawan dalam
mengembangkan teknik-teknik penulisan karya sastra. Akan tetapi, belum
tentu berguna bagi masyarakat.
Tentu HB Jassin memang kritikus sastra besar. Hal itu bukan saja karena
beliau sangat tekun dan menulis banyak kritik sastra, tetapi karya
sastra pada waktu HB Jassin berkiprah tidak banyak seperti sekarang. Dan
lagi, HB Jassin pada waktu itu berdiri sebagai ‘pusat’ ketika proses
perkembangan teknologi penerbitan tidak seperti sekarang. Hampir seluruh
sastrawan Indonesia mengirimkan karya ke HB Jassin dan menunggu ‘baptis
pusat’ untuk mendapatkan legitimasi kepenyairan atau kesastrawanan
seseorang.
Pada tahun 1990-an, karena perkembangan teknologi dan globalisasi, juga
wacana desentralisasi dan demokratisasi mulai menguat, maka ‘kegunaan
pusat’ mulai diragukan dan dianggap tidak penting. Maka mulai banyak
sastrawan dan penyair tidak merasa perlu mendapatkan legitimasi dari
pusat, dan kritik sastra HB Jassin pun mulai tidak diperlukan. Setiap
orang bisa dan dapat menerbitkan karyanya tanpa harus mendapatkan kritik
model HB Jassin. Bukan saja para sastrawan dan penyair juga mulai
‘risih’ jika dihakimi tentang mutu karyanya, tetapi memang terdapat
pergeseran tentang asumsi karya sastra itu sendiri.
Senyampang dalam perubahan di atas, orientasi studi sastra sudah lebih
dahulu mengalami pergeseran. Hingga tahun 1980-an awal kajian-kajian
sastra masih didominasi studi-studi bernuansa kritik ala HB Jassin. Juga
pernah muncul polemik antara kritik sastra akademis dan kritik sastra
nonakademis. Kritik sastra model HB Jassin, walaupun sangat dekat dengan
teori struktural intirinsik, dianggap mewakili kritik berupa
analisis-analisis kesan tanpa pretensi dan pertanggungjawaban akademis.
Cara kerja seperti itu mulai diragukan kadar keilmiahannya.
Dalam perkembangan sosial, ekonomi, dan politik yang mengharu biru,
banyak ahli sastra menjadi inferior dibanding ahli politik, ahli
ekonomi, bahkan ahli olahraga dan kecantikan. Hal itu terjadi karena
ahli sastra dengan bawaan struktural intrinsik seolah mengasingkan diri
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karya sastra
ditempatkan bukan sebagai data sosial, politik, ekonomi atau data
tentang persoalan ketimpangan gender, masalah kebudayaan, dan
sebagainya. Sastra dilihat sebagai persoalan sastra itu sendiri.
Hal penting yang ingin disampaikan adalah bahwa studi-studi sastra mulai
mengalami pergeseran dari dominasi teori struktural ke teori-teori
semiotik, sosiologi sastra, resepsi, feminisme, wacana, poskolonial,
posstrukturalisme atau posmodernisme, dan sebagainya, yang setiap teori
secara keseluruhan menempatkan sastra sebagai persoalan dan teks sosial.
Teori-teori sastra itu juga tidak lagi menghakimi mutu karya, tetapi
menempatkan karya sastra sebagai data, dokumen, atau monumen sosial.
Secara dialektis karya sastra ditempatkan dan difungsikan dalam konteks
sosial masyarakatnya. Dalam konteks itu, praksis kritik (yang
menghakimi) semakin tidak dipakai. Studi atau kajian sastra menjadi
lebih terintegrasi dengan kajian-kajian sosial, politik, dan budaya.
Sekarang, kajian seperti itu tentu sudah cukup banyak. Masalahnya memang
tidak seluruh karya sastra (baik novel, puisi, cerpen, maupun naskah
drama) dapat dikaji.
Pertama, terdapat beberapa pertimbangan akademis mengapa sebuah karya
sastra harus diteliti. Sebagai satu penelitian kualitatif, tidak seluruh
karya sastra harus diteliti, apalagi jika karya tertentu memperlihatkan
kecenderungan yang sama dengan karya yang lain. Itulah sebabnya,
terdapat kategori chicklit dan atau teenlit, untuk satu kategori
kecenderungan. Untuk meneliti kecenderungan teenlit atau chicklit, tidak
seluruh novel dalam kategori itu diteliti karena tentu jumlahnya
ratusan.
Kedua, setiap kajian memberikan kesimpulan sendiri-sendiri yang berbeda
sesuai dalam koridor dan paradigma teoretis kajian bersangkutan. Akan
tetapi, hal yang perlu dipahami adalah bahwa kecenderungan teoretik
kajian menempatkan karya sastra sebagai bagian yang terintegrasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Teks sastra
ditempatkan sebagai ‘informan’, sebagai ‘tanda-tanda sosial’ yang
ditinjau secara bolak balik, baik berdasarkan karya sastra melihat
masyarakat, atau sebaliknya, melihat masyarakat berdasarkan karya
sastra.
Ketiga, di fakultas-fakultas yang memiliki Program Studi Sastra
Indonesia hingga kini masih secara konstan melakukan penelitian dan
kajian sastra khususnya untuk skripsi dan tesis. Secara reguler juga ada
pertemuan ilmiah sastra, baik HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan
Indonesia) atau PIBSI (Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia),
yang membicarakan perkembangan sastra dari berbagai sisi. Berdasarkan
itu, karya-karya sastra paling mutakhir pun, jika dianggap perlu, akan
mendapat perhatian untuk dijadikan skripsi, tesis, atau paper-paper.
Novel atau teks-teks seperti Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih,
Laskar Pelangi, atau Edensor sudah mendapat perhatian dan mulai dikaji
untuk dijadikan skripsi atau tesis.
Persoalannya, memang tidak seluruh skripsi, tesis, atau paper-paper
memberikan kajian yang kuat dan memadai. Kecenderungan skripsi, tesis,
atau paper untuk terjebak dalam stereotip merupakan penyakit akademis
yang sulit diatasi. Cukup banyak skripsi atau tesis dikerjakan oleh
mereka yang malas berpikir dan bekerja keras. Ada beberapa persoalan
dalam kasus ini. Pertama, calon ahli atau sarjana sastra pada mulanya
tidak menempatkan pilihan sebagai ahli sastra sebagai pilihan utama.
Hal itu menyebabkan SDM yang mempelajari sastra bukan berdasarkan motif yang kuat.
Hal itu disebabkan, kedua, hingga hari ini menjadi ahli sastra belum
menjadi profesi yang menjanjikan dibanding ahli politik, ekonomi, atau
sosial. Akan tetapi, mengingat terjadi beberapa pergeseran teoretis
tersebut, sangat mungkin pada waktu-waktu yang akan datang, akan muncul
ahli sastra yang bisa menjelaskan problem dan arah perkembangan
masyarakat, negara, dan bangsa ini, dan sastra itu sendiri, dengan
melihat karya sastra sebagai data, dokumen, atau monumen sosial.
Sabtu, Mei 11, 2013
Kesusastraan Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar