PKL, Tukang Becak, Pengamen, Pedagang Asongan, Pengemis.
Istilah di atas adalah kata-kata kunci yang sering muncul dalam pemberitaan masalah ketertiban umum. Suatu masalah sosial yang kompleks yang sering dipandang oleh pemerintah secara parsial. Disini saya tidak akan membahas masalah yang kompleks tersebut tetapi ingin bercerita bagaimana rasanya menjadi PKL dan pengalaman mengamati PKL di negeri jiran.
Menjadi PKL sebetulnya bukan pengalaman luar biasa karena sejak SMP sudah sering membantu kakak sepupu seorang PKL. Perlu keberanian besar menjadi seorang PKL, memasuki dunia yang keras, dan kasar tetapi dibalik itu ada suatu ikatan yang tidak terlihat yang sangat erat, penuh kekeluargaan dan hangat. Saat ini seorang PKL tidak datang dari kalangan ekonomi lemah tetapi banyak yang datang dari ekonomi menengah dan atas.
Lapak tempat kami berjualan adalah sebuah lapangan parkir plaza di komplek perumahan di Bandung Timur yang digunakan untuk bazaar hari minggu di kota Bandung seperti halnya Gasibu yang membuat macet setiap minggunya. Setiap minggu, mulai sabtu malam kami mempersiakan dagangan dan minggu subuh sudah berangkat ke tempat jualan karena jika tidak lapak kami ada yang menempati. Pada awalnya seperti itu tetapi setelah kenal dengan tetangga PKL lainnya, kami PKL saling menitip lapaknya agar tidak ditempati oleh orang lain di luar kami. PKL yang berdagang disini banyak juga datang dari keluarga menengah dan atas yang mencoba melebarkan usahanya dengan cara jemput bola dan mencari tambahan penghasilan.
Tidak seperti di Gasibu Bandung, di tempat kami pengaturan dilakukan oleh RW dengan pengawasan dari Muspika dan pemilik lahan. Pengelola mengutip retribusi untuk kebersihan dan keamanan. Setiap berjualan dikutip antara Rp 5.000 - 10.000 tergantung ukuran lapak. Pada awalnya ada keinginan agar bazaar minggu pagi dikelola lebih baik tetapi benturan kepentingan yang terjadi menyebabkan pengelolaan hanya fokus pada besaran retribusi yang harus didapatkan. Akhirnya bazaar minggu pagi menjadi semrawut dan tidak terkendali. Jumlah pedagang yang terus bertambah sehingg lahan yang digunakan merambah ke trotoar jalan umum disertai tidak tertibnya para tukang becak dan lahan parkir yang sempit. Semua itu menjadi sebuah pemandangan umum dan biasa ditemui di setiap bazaar minggu pagi di kota Bandung.
Lain halnya ketika mengamati PKL di negeri Jiran, khususnya di Melaka tempat saya sekolah lagi. Kegiatan PKL ini dilakukan pada pasar malam yang dimulai dari pukul 4 sore sampai 9 malam. Setiap harinya berubah-ubah tempatnya. Di lokasi tempat tinggal kami, pasar malam dilakukan pada hari minggu sore mengambil jalan umum yang tidak terlalu rame lalu lintasnya. PKL disini harus dilengkapi ijin dari dewan kota. Ijin tersebut sangat mudah mengurusnya cukup dengan melampirkan IC atau KTP pada dewan kota. PKL akan diberi ijin berdagang di wilayah manapun di bagian kota dengan tidak menggangu ketertiban umum. PKL tidak berijin akan kena denda yang cukup besar. PKL disini sangat menjaga kebersihan, kemudian lorong antar PKL sangat besar sehingga memudahkan pembeli untuk memilih. PKL disini pun dikenai retribusi setiap kali berjualan yang dikutip langsung oleh petugas dewan kota.
Membandingkan kondisi PKL di Indonesia dengan Malaysia banyak sekali perbedaan, baik dari PKL nya sendiri, pemerintah dan juga pembeli. Rasanya tidak perlu malu untuk meniru sisi baik dari pengelolaan PKL di jiran tersebut. Saya pun terinspirasi mengadopsi sisi positif PKL di sana dan Insya ALLAH akan diterapkan nanti ketika kembali ke Indonesia.
Kesimpulannya PKL adalah cara memberdayakan diri sendiri untuk ikut menggerakan roda ekonomi keluarga, masyarakat bahkan negara. Sudah saatnya pemerintah mengelola potensi ini sehingga angka pengangguran menurun.
Sumber : kompasiana
Senin, April 05, 2010
Menjadi PKL (Pedagang Kaki Lima)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar